Pada bulan Juli 1965 Indonesia pernah mendapat bantuan dari Pemerintah Republik Federasi Jerman senilai 3.000 DM khusus untuk pemberantasan penyakit kusta, sebelumnya Jerman juga sudah memberi bantuan obat untuk penyakit paru-paru dan memberikan enam buah ambulans (Kompas, 16/7/1965, "Obat Kusta Sumbangan FRD").

Bantuan pemerintah Jerman untuk Indonesia dalam mengatasi penderita kusta tidak tanggung-tanggung, yaitu merakit Rumah Sakit untuk penderita kusta yang terbuat dari pelat baja yang ditutupi pelat eternit 8 mm dilapisi aluminium.

Rumah sakit seharga 150.000 DM ini dirancang di Dusseldorf oleh arsitek Wanke BDA dan dibuat di Wurzdburg ini berbentuk bintang mampu menampung 100 pasien kusta. Pertengahan tahun 1966, Kapal yang belum dirakit tersebut diberangkatkan dengan kapal dari Hamburg dan ditempatkan di Lewoleba Flores, Indonesia (Kompas, 2/7/1966, "Rumah Sakit Berbentuk Bintang untuk Indonesia").

Dalam catatan arsip Kompas, tercatat wabah kusta pernah menyerang di Provinsi Sumatera Utara, tahun dalam sidang pleno DPRD Sumatera Utara disebutkan ada 2.350 orang terserang penyakit kusta (Kompas, 13/3/1968, "2.350 Penderita Kusta di Sumut").

Di Pulau Bali pada 1970 diberitakan 2000 orang penderita kusta berhasil disembuhkan. Sementara itu, sebanyak 1.230 penderita masih dalam tahap pemulihan. Pulau Bali memiliki empat lokasi rehabilitasi penderita kusta, yaitu, Gianyar, Jembrana, Buleleng, dan Tangsu dengan obat-obatan sumbangan dari Unicef dan pemerintah daerah (Kompas, 31/1/1970, "2000 Penderita Kusta di Bali Disembuhkan").

Pada 13 April 1970, Menteri Kesehatan Indonesia dr. Siwabessy mengatakan bahwa di Indonesia terdapat 240.000 penderita kusta di Indonesia, sementara di dunia ada 15 juta orang (Kompas, Selasa, 14/4/1970).

Pada Oktober 1972 di Jawa Timur terdapat 18.765 penderita kusta, dengan 10.409 bersifat menular, 6.754 tidak menular dan 1.602 yang berada diantara menular dan tidak menular. Namun, dari semua penderita kusta tersebut hanya 11.619 yang menjalani pengobatan, selebihnya tidak berobat.

Kusta bukanlah keturunan dan bukan pula kutukan, karena penyakit ini dapat disembuhkan dengan pengobatan teratur. Di Jawa Timur sempat dibangun tempat perawatan khusus tetapi kemudian diganti dengan perkampungan untuk menampung penderita kusta (Kompas, 24/10/1972, "10.409 Orang Penderita Kusta Menular di Jawa Timur").

Bahkan hingga tahun 1975 kusta masih menjadi persoalan kesehatan masyarakat Indonesia, terbukti dari keterangan Dokter Boenyamin, Pejabat Direktorat Pencegahan, Pembasmian Penyakit Menular (P3M) diperkirakan ada 100.000 penderita kusta di Indonesia. Dari angka itu hanya 22.000 yang tercatat di Dinas Kesehatan (Kompas, 27/2/1975, "100.000 Penderita Penyakit Kusta di Indonesia").

Hingga tahun 1970-an di Indonesia penderita kusta dijauhi oleh lingkungan, bahkan mereka membuat tempat isolasi di kampung masing masing, tempat isolasi ini untuk memisahkan penderita kusta dari keluarganya agar tidak tertular. Walaupun tidakan ini mengakibatkan pengobatan menjadi lebih sulit. Tindakan pengucilan tidak perlu dilakukan karena kusta tidak menular dengan cepat. Walaupun demikian, penderita kusta harus dijauhkan dari anak-anak dan orang tua.

Pada 1978, jumlah penderita kusta meningkat, di Ujung Pandang, Sulawesi Selatan. Pada Mei 1978 diketahui ada 3.141 orang menderita kusta dengan 1.073 yang melakukan pengobatan secara teratur.

Jumah itu meningkat dari tahun 1974--1975, yaitu 2.574 dan hanya 688 yang melakukan pengobatan secara rutin. Di kota Ujung Pandang dahulu dibuat tempat penampungan penderita di Tamalanrea karena daya tampung RS khusus kusta Jongaya tidak cukup menampung.

Fenomena penderita kusta yang diasingkan jauh dari masyarakat pernah terjadi di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara pada tahun 1978. Di wilayah tersebut proses mengasingkan penderita kusta berlangsung hingga 10 tahun dan tidak pernah ada komunikasi.

Keluarga hanya mengirimkan bahan makanan seminggu sekali dengan menggunakan tongkat panjang karena tidak ingin bersentuhan sama sekali. Ketika selama 2 minggu bahan makanan tersebut tidak disentuh keluarga langsung berpikir penderita sudah mati hingga diputuskan untuk membakar rumah tersebut. Polisi kemudian meminta keterangan dari keluarga yang membakar gubuk penderita kusta tersebut (Kompas, 28/9/1978, "Kasus Pembakaran Penderita Kusta di Medan").

Pada tahun 2000, Indonesia telah mencapai status eliminasi kusta, yaitu prevalensi kusta kurang dari angka 1 per 10.000 penduduk. Pada tahun 2017 angka prevalensi sebesar 0,70 kasus dengan angka kasus penemuan 6,08 kasus per 100.000 penduduk. Namun, di beberapa daerah masih ada di atas 1 per 10.000 penduduk. Masih ada 10 provinsi di Indonesia yang belum dapat dinyatakan bebas kusta.

Di Indonesia pada periode 2015--2016, terdapat 11 provinsi (32,3 persen) yang termasuk dalam beban kusta tinggi, dan 32 provinsi lainnya (67,6 persen) termasuk dalam beban kusta rendah. Hampir di seluruh provinsi Indonesia bagian timur merupakan daerah dengan beban kusta tinggi. Di Pulau Jawa hanya provinsi Jawa Timur yang memiliki beban kusta tinggi. Namun, setelah tahun 2017 Jawa Timur menjadi wilayah dengan beban kusta rendah.

Indonesia memiliki rumah sakit khusus mengobati dan terapi bagi penderita kusta, yaitu RS dr. Sitanala, di Kota Tangerang, Banten. Di rumah sakit ini penderita tidak hanya diobati tetapi juga dilatih untuk mampu mandiri menjalani hidupnya setelah sembuh.

Nama Sitanala diambil dari J.B. Sitanala, seorang dari keluarga besar Sitanala dari Desa Kayeli Pulau Buru, Ambon dan mengambil spesialis kusta di Belanda tahun 1923. Pada 1927 J.B. Sitanala menjadi doktor dan guru besar penyakit kusta. Setelah kembali ke Indonesia ia diangkat menjadi kepala pemberantasan penyakit kusta dan mendirikan rumah sakit khusus pengobatan kusta di Tangerang tahun 1951.

Selain itu, terdapat Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang, Belawan, Medan, Sumatera Utara didirikan tahun 1914 oleh Balai Keselamatan The Salvation Army hingga tahun 1970 menjadi Leprosarium, yaitu tempat pengobatan dan pengasingan penderita kusta.

Di sana penderita juga berlatih hidup bercocok tanam selain pengobatan karena membutuhkan waktu yang lama dan mereka tidak boleh bercampur dengan keluarga yang sehat. Hanya saja RS Pulau Sicanang sudah tidak beroperasi sejak tahun 2010 karena telah dipindahkan ke Rumah Sakit Dinas Sosial Propinsi Sumatera Utara.


Jumlah Kasus

Menurut data WHO, jumlah kasus baru kusta di dunia pada tahun 2015 adalah sekitar 210.758. Dari jumlah tersebut paling banyak terdapat di Asia Tenggara (156.118) diikuti dengan regional Amerika (28.806) dan Afrika (20.004), dan sisanya berada di regional lain.

Sistem Informasi Penyakit Kusta (SIPK) yang dikutip oleh Kementerian Kesehatan RI per tanggal 25 Agustus 2020, menunjukkan bahwa masih ada 146 kabupaten/kota belum mencapai eliminasi yang tersebar di 26 Provinsi. Untuk tingkat Provinsi, terdapat 8 Provinsi yang masih belum eliminasi kusta, yaitu Papua Barat, Papua, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, dan Gorontalo.

Sementara itu jumlah kasus kusta yang terdaftar ada sekitar 18 ribu dan tersebar di 7.548 desa/kelurahan/kampung, mencakup wilayah kerja 1.975 Puskesmas, di 341 kabupaten/kota di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa di provinsi dan kabupaten/kota yang sudah mencapai eliminasi kusta, ternyata masih tetap memiliki kasus kusta.


Menurut data dari Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan, Indonesia telah mencapai status eliminasi kusta, yaitu prevalensi kusta kurang dari angka 1 per 10.000 penduduk pada tahun 2000.

Setelah itu, Indonesia masih bisa menurunkan angka kejadian kusta meskipun relatif lambat. Berdasarkan bebannya, kusta dibagi menjadi dua kelompok, yaitu beban kusta tinggi (high burden) dan beban kusta rendah (low burden). Provinsi disebut high burden jika NCDR (new case detection rate: angka penemuan kasus baru) lebih dari 10 per 100.000 penduduk dan atau jumlah kasus baru lebih dari 1000, sedangkan low burden jika NCDR <10 per 100.000 penduduk dan atau jumlah kasus baru kurang dari 1000 kasus.