Melawan stigma

Kecacatan yang nampak pada tubuh penderita kusta seringkali tampak menyeramkan bagi sebagian besar masyarakat sehingga menyebabkan perasaan jijik, bahkan ada yang ketakutan secara berlebihan terhadap kusta atau dinamakan leprophobia. Meskipun penderita kusta telah menyelesaikan rangkaian pengobatannya, dinyatakan sembuh dan tidak menular, status predikat penyandang kusta tetap dilekatkan pada dirinya seumur hidup. Inilah yang seringkali menjadi dasar permasalahan psikologis para penyandang kusta. Rasa kecewa, takut, malu, tidak percaya diri, merasa tidak berguna, hingga kekhawatiran akan dikucilkan (self stigma). Hal ini diperkuat dengan opini masyarakat (stigma) yang menyebabkan penderita kusta dan keluarganya dijauhi bahkan dikucilkan oleh masyarakat.

Survei yang dilakukan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia di lima Kabupaten di Indonesia (Kab. Subang, Malang, Gresik, Gowa, dan Bone) pada tahun 2007, memotret diskriminasi yang dialami penderita kusta, baik di lingkungan keluarga maupun di sarana dan pelayanan publik. Bentuk diskriminasi tersebut meliput dipisahkan dari pasangan (diceraikan); dikeluarkan atau tidak diterima di pekerjaan; ditolak di sekolah, restoran, tempat ibadah, pelayanan kesehatan, dan fasilitas umum lainnya.

Stigma dan diskriminasi seringkali menghambat penemuan kasus kusta secara dini, pengobatan pada penderita, serta penanganan permasalahan medis, baik yang dialami oleh penderita maupun orang yang pernah mengalami kusta. Karena itu, dalam upaya menghilangkan stigma dan diskriminasi, dibutuhkan motivasi dan komitmen yang kuat baik dari penderita maupun masyarakat. Penderita diharapkan dapat mengubah pola pikirnya, sehingga dapat berdaya untuk menolong diri mereka sendiri, bahkan orang lain. Selain itu, masyarakat juga diharapkan dapat mengubah pandangannya serta membantu penderita maupun orang yang pernah mengalami kusta agar tetap sehat dan mampu menjaga kesehatan secara mandiri.

Kusta masih menjadi permasalahan di beberapa negara, termasuk di Indonesia dikarenakan beberapa faktor menurut WHO, antara lain:Kesalahpahaman tentang penyakit kusta. Terlepas dari penemuan M. Leprae, kuman penyebab penyakit kusta, dan bukti ilmiah bahwa kusta bukanlah penyakit keturunan, kebanyakan orang masih memiliki kesalahpahaman terhadap penyakit kusta. Kesalahpahaman inilah yang mengarah pada stigma, diskriminasi dan pengucilan orang yang mengidap kusta dan anggota keluarga yang terkena kusta.
Kusta sebagian besar menyerang orang-orang yang kurang mampu, yang menghadapi berbagai hambatan untuk mengakses fasilitas kesehatan.
Program kusta kurang populer dibandingkan program kesehatan lainnya dan kurang mendapat perhatian dan sumber daya di tingkat global dan nasional.

Selain itu, masih ada faktor lain yang berkontribusi terhadap stigma kusta. Faktor yang menambah stigma kusta, antara lain, ketakutan akan tertular penyakit kusta dan kesalahpahaman bahwa tidak ada pengobatan untuk penyakit kusta. Cacat akibat pengobatan yang tertunda dan bau dari bisul yang terinfeksi namun tidak segera diobati menyebabkan penderita mendapatkan penghinaan lebih lanjut dari masyarakat. Kusta juga salah dikaitkan dengan status sosial, dan sering dianggap sebagai kutukan dari Tuhan Yang Maha Esa.

Untuk mematahkan stigma terhadap penyakit kusta dan menghentikan diskriminasi terhadap penderitanya, kita dapat melakukan hal-hal berikut:Meningkatkan pemahaman tentang kusta dan berbagi informasi tentang penyakit kusta dengan orang lain. Pemahaman yang lebih baik tentang penyakit kusta akan membantu menghilangkan kesalahpahaman yang menyelimuti penyakit kusta.
Mewujudkan hak yang sama untuk penderita kusta. Orang yang terkena kusta memiliki hak yang sama dengan orang lain. Kita bisa membantu untuk menggerakkan perubahan terhadap peraturan perundang-undangan yang mendiskriminasi orang yang mengalami kusta.
Memastikan hak-hak mereka yang terkena kusta terpenuhi oleh negara, termasuk hak atas fasilitas kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan layanan publik lainnya.

Aktivis dan simpatisan Dompet Kusta Indonesia saat kampanye peduli penderita kusta dan peringatan Hari Kusta Internasional di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Rabu (25/1/2012). Meski sudah berusia ribuan tahun, kusta atau lepra belum bisa tuntas diberantas.

Upaya pemerintah Indonesia

Untuk tetap menerapkan adaptasi kebiasaan baru (New Normal) pada masa pandemi COVID-19, dalam peningkatan pengetahuan dan ketrampilan Wasor (wakil supervisor) kusta di provinsi dan kabupaten/kota, Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung (P2PML) Kementerian Kesehatan RI melaksanakan Pelatihan Jarak Jauh Pencegahan dan Pengendalian (PJJ P2) Kusta.

Pelatihan Jarak Jauh Pencegahan dan Pengendalian (PJJ P2) Kusta adalah suatu proses pembelajaran mandiri yang dilakukan secara terencana dan memenuhi standar. Metode ini dapat meningkatkan kinerja dan profesionalisme sumber daya manusia kesehatan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya dalam penanggulangan kusta.

PJJ P2 Kusta merupakan pelatihan yang menggunakan metode Blended Learning. Peserta pelatihan akan menjalankan pelatihan dengan 2 tahapan: pembelajaran online dan pembelajaran tatap muka. Tahap pertama, yaitu pembelajaran melalui media daring atau online dilaksanakan dengan menggunakan platform pembelajaran berbasis Learning Management System, yang didesain dengan sequence dan kaidah-kaidah pembelajaran mandiri. Pada tahap online peserta harus menuntaskan materi-materi sesuai tahapan demi tahapan dalam ketuntasan belajarnya. Tahap kedua, yaitu pembelajaran dengan tatap muka, di sini peserta melanjutkan pelatihan di kelas dan tempat praktek lapangan.

PJJ P2 Kusta dengan metode Blended Learning ini diharapkan akan lebih efektif dalam meningkatkan kapasitas SDM untuk melaksanakan P2 kusta di Indonesia.

Pelatihan metode Blended Learning ini mempersingkat durasi pelatihan P2 kusta dari yang sebelumnya 14 hari secara tatap muka (teori dan praktik) menjadi 5 hari tatap muka, pembelajaran online dapat dilakukan secara mandiri dengan bimbingan dan pengawasan dari tutor. Peserta tidak perlu lama meninggalkan tempat kerja untuk mengikuti pelatihan dan masih tetap dapat melaksanakan pekerjaan rutinnya.

PJJ P2 Kusta ini secara resmi diluncurkan pada Selasa, 1 September 2020 di Gedung Kemenkes oleh Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kementerian Kesehatan R.I, dr. Achmad Yurianto dan disaksikan oleh Direktur Operasional NLR di Kantor Kementerian Kesehatan RI, Jakarta pada tanggal 1 September 2020.

Penanggulangan kusta perlu didukung dengan peningkatan kapasitas dalam hal pengetahuan dan keterampilan tenaga kesehatan. Penanggulangan mulai dari kebijakan program P2 Kusta, epidemiologi, diagnosis penyakit, tata laksana, pencatatan dan pelaporan, serta penyediaan dan pengelolaan logistik sampai ke supervisi dan monitoring.

Model PJJ dikembangkan untuk dapat menjawab tantangan dalam pelaksanaan pelatihan klasikal, yaitu keterbatasan biaya dan waktu dari peserta. Dengan PJJ P2 kusta ini, diharapkan pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota bisa mengimplementasikan pelatihan di wilayahnya masing-masing sebagai upaya penguatan SDM dalam penanggulangan kusta.